Jakarta, Kemendikbud --- Dalam rangka mengembangkan literasi penduduk , sejak 2016 pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Bangsa. Untuk mendukung program GLN, diperlukan bantuan kajian yang mencukupi khususnya untuk memetakan duduk perkara literasi secara nasional sehingga acara GLN mampu lebih tepat target. Merespon keperluan itu, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud telah melaksanakan kajian yang bermaksud untuk: (1) menelaah dimensi dan indikator yang dapat merepresentasikan kegiatan literasi membaca; dan (2) menyusun indeks untuk mengukur tingkat acara literasi membaca. Hasil kajian ini yaitu Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) tingkat provinsi. “Dalam membaca kita senantiasa terkendala. Rata-rata dalam Ujian Nasional (UN), anak bisa menjawab soal bahasa Indonesia cuma 60 persen. Dengan tentang atau teks yang agak panjang lebih kedodoran. Ini disebabkan acara bacanya kurang,” demikian disampaikan Kepala Balitbang Kemendikbud, Totok Suprayitno, dikala membuka program Diskusi dan Peluncuran Buku Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca), di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, pada Jumat (17/05/2019). Indeks Alibaca mengadopsi rancangan Miller dan McKenna (2016) dalam buku World literacy: How countries rank and why it matters, tentang aspek-aspek yang menghipnotis acara literasi, adalah: (1) kecakapan (proficiency), merupakan syarat awal semoga seseorang dapat mengakses bahan literasi; (2) jalan masuk (access), yakni sumber daya penunjang dimana masyarakat menerima materi literasi, mirip perpustakaan, toko buku, dan media massa; (3) alternatif (alternatives), ialah beragam opsi perangkat teknologi informasi dan hiburan untuk mengakses bahan literasi; dan (4) budaya (culture), yakni kebiasaan yang turut membentuk habitus literasi. Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Emi Emilia, dalam paparannya menyampaikan bahwa guru seharusnya lebih mengetahui teks bacaan sehingga dapat memberikan klarifikasi yang mendalam terhadap murid. “Yang terpenting juga mengenai pengertian guru, tentang pengertian teks ini yang belum. Misalnya ini lho teks eksplanasi. Jangan saat diminta untuk berargumen, kok kita malah mendeskripsikan, diminta untuk memberikan kode malah justru mendeskripsikan. Dengan adanya hal ini perlu adanya guru yang cerdik dan ini perlu dilatih tentang hal-hal ini. Makara, untuk guru harus dilatih untuk lebih meningkatkan pengertian teks,” ujarnya. Sementara itu, salah seorang narasumber, Nirwan Ahmad Arsuka, menerangkan bahwa sumber problem terbesarnya yakni adanya mitos bahwa minat baca anak Indonesia itu rendah. “Kemendikbud ialah salah satu biro yang sering mengulang-ulang mitos tersebut. Kemudian ditirulah oleh banyak selebritis ini. tergolong mbak Najwa dahulu, lalu belakangan kita tunjukan bahwa bekerjsama baca anak Indonesia itu tinggi, cuma bukunya saja yang tidak ada,” kata Nirwan. Dilanjutkan Nirwan, peran serta penduduk ketika ini dalam memajukan literasi sangat besar. “Warga yang selama ini jadi objek saja, kini sudah jadi subjek. Mereka mampu menyumbang bambu, atap, dan bikin perpustakaan di kampung-kampung. Bukunya siapa yang menyumbang ? Sebagian ada anak-anak yang pulang atau yang melakukan pekerjaan di Jakarta, TKW-TKW di Hongkong misalnya, itulah yang demikian yang mengirim buku ke kampung-kampung. Banyak warga yang dulunya tidak sekolah dan merantau kini mereka menjadi penyumbang untuk menolong sosial masyarakat. Anak-anak ini barangkali tidak terlampau istimewa di kota, tetapi di kampung-kampung menjadi tokoh penduduk . Karena mereka mampu mengajak warga untuk membangun perpustakaannya,” terang Nirwan. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Puslitjakdikbud Kemendikbud ialah sebagai berikut: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan perhatian khusus kepada kawasan/provinsi yang mempunyai tingkat indeks literasi membaca yang rendah, utamanya Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Barat; (2) dimensi alternatif. Perlu dorongan pemanfaatan teknologi info diikuti kampanye penggunaan internet yang sehat, sehingga mampu menunjang kenaikan acara literasi penduduk ; (3) dimensi saluran. Perlu upaya sistematis untuk memajukan saluran kepada akomodasi literasi publik, baik di sekolah maupun di masyarakat; (4) dimensi budaya. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) perlu diimbangi dengan dorongan penyesuaian di rumah, misalnya melalui kebijakan “Jam Belajar” pada waktu berkumpul dengan keluarga; (5) pihak swasta dan dunia usaha mampu mendukung pemenuhan susukan literasi melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan, contohnya mendukung perpustakaan lazim, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan komunitas; (6) penduduk dan pegiat literasi mampu berpartisipasi dengan menciptakan perpustakaan di rumah, mengadakan acara berkala membaca di tingkat keluarga, serta menjadi donatur bantuan buku bagi sekolah maupun komunitas literasi. Usai diskusi, Totok memperlihatkan pernyataan epilog yang menyatakan bahwa problem literasi dalam dunia pendidikan memang tidak bisa diabaikan alasannya hal ini terpampang positif. “Jujur saja, salah satu masalah kita dalam dunia literasi adalah akses. Jumlah murid itu naik terus namun persoalanya ada pada literasi ini, apakah ini merupakan literasi sains, atau apa. Tetapi, ini semua awalnya dari membaca. Bagaimana mampu paham sains kalau mengerti kalimat saja tidak bisa? Apalagi membedah implisit yang tidak tertulis, dan ini banyak terjadi. Makara, literasi membaca itu merupakan awal untuk mengetahui ilmu-ilmu yang lain. Kalau ini saja problematik, maka jangan berharap literasi yang lain juga akan baik,” terperinci Totok. Totok mengapresiasi para pegiat literasi dan berharap supaya acara ini bukan hanya semacam simbol melainkan titik awal pergerakan komunitas-komunitas yang bersinergi dalam memajukan dunia literasi. “Saya kepikiran mengumpulkan mitra-mitra yang macam-macam ini. Kawan-kawan mungkin mampu berkumpul menciptakan semacam policy brief (ringkasan kebijakan) agar tidak panjang-panjang, yang menggabungkan keseluruhan tadi apa yang mesti digabungkan, biar juga nyambung dan sinergi dengan acara literasi. Bagaimana biar keinginan UU Sistem Perbukuan untuk mewujudkan ketersediaan buku yang 3M adalah merata, murah dan bermutu,” pungkas Totok. dikutip dari laman kemdikbud.go.id Semoga berguna, Salam Pendidikan Sumber https://pendikinfo.blogspot.com
Senin, 23 November 2020
Kemendikbud Luncurkan Buku Indeks Kegiatan Literasi Membaca
Diterbitkan November 23, 2020
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon